Sekembalinya sekolah dari luar negeri, umumnya para ilmuwan “new comer” (pendatang baru) bertitel doktor atau master kerap gundah dengan prospek aktualisasi dirinya di tanah air. Kesenjangan fasilitas dan lingkungan kerja yang dinikmati saat menjadi mahasiswa pascasarjana atau peneliti posdoktoral, sangat berbeda dengan kondisi tanah air. Ini semua dapat menimbulkan “efek kejut” yang sangat mengganggu jika tidak dikelola dengan baik. Bagi para calon ilmuwan khususnya yang bekerja di kampus dan lembaga penelitian, kesenjangan itu perlu diantisipasi sejak awal. Persiapan material maupun mental sebelum kepulangan sudah menjadi keharusan, apalagi bagi mereka yang berstatus PNS dan “ber-gardan tunggal” (berpenghasilan dari satu sumber). Selain bekal dana tabungan untuk masa-masa transisi pada bulan-bulan awal kepulangan, persiapan bekal, dan wahana aktualisasi juga tidak kalah penting. Dasar pemikirannya sederhana saja, sudah menghabiskan waktu lama menyelesaikan studi, apalagi yang harus dilakukan kalau bukan memanfaatkan dan mendayagunakan ilmu, kemampuan, dan kapasitas yang telah terakumulasi. Dengan harapan, agar pemanfaatan dan pendayagunaan kemampuan yang dimilikinya itu bisa memberikan efek balik bagi peningkatan dan pengembangan kapasitas lanjutan maupun efek ikutan lainnya dalam bentuk materi. Idealnya memang, seorang pendatang baru mengikuti jenjang karir yang ada di institusinya masing-masing baik yang sifatnya fungsional maupun struktural. Tetapi faktanya, sistem dan kondisi di tanah air masih belum mampu mengakomodasi seluruh potensi ilmuwan pendatang baru untuk menjadi pakar dan tokoh rujukan di bidangnya. Meskipun demikian, terdapat beberapa model yang bisa mengakomodasi dan membantu percepatan aktualisasi potensi secara sinergis dengan karir di institusi dimana mereka bekerja. Yang paling populer adalah melalui penyiapan sebuah komunitas yang berkaitan dengan bidang keilmuannya. Dengan memasyarakatnya media internet, membuat sebuah komunitas dunia maya merupakan langkah awal yang baik, sebelum terbentuknya sebuah komunitas sesungguhnya. Langkah ini sangat efektif dalam mengembangkan jejaring (network) dan media pertukaran pengetahuan/pengalaman. Disamping itu, ikut berpartisipasi aktif dalam pengajuan proposal dana riset maupun penghargaan lain dapat membantu sisi “jual diri” seorang pendatang baru. Perkenalan dengan sejawat di luar negeri juga bisa menjadi modal penting dalam upaya menjalin kolaborasi internasional. Cara lain yang tidak kalah menarik adalah bergabung dengan “pemain lama” dalam sebuah kelompok/grup (riset) di institusi masing-masing yang telah memiliki network dan pengalaman di dunia riil (industri). Tentu saja, cara yang terakhir ini mensyaratkan persamaan ide dan visi agar kolaborasi yang dibentuk saling bermanfaat dan berhasil guna. Terus terang saya cukup beruntung ketika seorang senior yang telah dikenal di dunia industri di bidangnya mengajak bergabung dalam kelompok risetnya. Yang tidak kalah menarik, ia sangat bangga menyebut dirinya “tikus pabrik”. Ia menyebut dirinya demikian karena telah dikenal dan berhasil membangun kredibilitas yang baik di mata industri. Industri yang dimasukinya pun bukan industri besar, tapi industri skala menengah lapis kedua yang men-suplai bahan baku industri otomotif nasional. Dengan know how yang dimiliki bersama grupnya, ia melakukan pendekatan yang sistematis dalam menurunkan reject dan meningkatkan efisiensi proses dari industri yang didampinginya. Masuknya ilmuwan ke industri memang bukan hal baru. Tapi saya mengamati sesuatu yang lain ketika ilmuwan tersebut tidak hanya melakukan trouble-shooting, tapi juga memberdayakan para pekerja di industri agar mampu dan berani melakukan inovasi dalam menurunkanreject. Ia pun berpengalaman mendampingi industri yang berhasil mensubstitusi produk impor dengan kualitas setara dan harga bersaing.